Judul buku : Bacaan Manusia Modern 2 (Berpikir Tuntas-Untuk Sebuah Kebenaran yang
Menentukan)
Pengarang : A. Naftallino
Tahun Penerbit : 2011
Penerbit : Intelligensia Learning Book
Cetakan : 1
Tebal Buku : 175 halaman
Garis Besar Buku : Filsafat/Humaniora
A. EMPAT PERTANYAAN BESAR YANG PERLU PERHATIAN SERIUS
Bahwa dalam hidup ketika cinta bertemu, cinta tidak akan selalu atau pasti akan bahagia. Sebab masih ada waktu esok yang membuat keduanya, atau kita pengamat juga sama-sama tidak tahu apa yang akan terjadi. Karena itu di dalam menganalisa sesuatu kita tidak bisa “menghakimi” atau memberi penilaian final yang, seolah-olah kita mempunyai derajat yang lebih tinggi dari yang kita amati. Karena itu berpikir bijak dan bersikap terbuka, dan terus berani membarui diri adalah sikap yang harus dipupuk. Karena Tuhan-lah yang akan mengujinya.
Kebenaran itu kalau dipraktikan di dalam kehidupan akan mendatangkan damai sejahtera bagi kehidupan, baik kehidupan diri sendiri, orang lain, dan bagi kemajuan kehidupan di dunia ini pada umumnya. Kebenaran (moralitas) adalah kebenaran yang menjamin nilai eksistensi manusia. Kebenaran dalam tataran ini adalah kebenaran yang erat dengan tata nilai atau norma-norma kehidupan yang kita sebut sebagai hukum.
Pertanyaan pokoknya adalah, apa itu moral? Apa artinya anda bisa ini bisa itu, punya ini dan punya itu, tetapi kalau nilai moral anda rendah atau tercela, bukankah orang akan melecehkannya! Kecuali mereka yang sudah buta terhadap nuraninya!
Rasa cemas dan takut itulah yang memungkinkan manusia mencoba mencari solusi atau mencoba menenangkan diri lewat berbagai macam cara dari mulai tindakan-tindakan mistis (keagamaan) yang primitive sampai kepada tingkat yang dianggap rasional (seperti ideologi) yang mana masing-masing intinya mencari solusi untuk mengatasi rasa bersalahnya atau kecemasannnya.

Jadi jawaban sementara yang dapat diberikan di sini atas pertanyaan: Apa sesungguhnya kebenaran itu? Yaitu suatu nilai yang dapat memuaskan baik suara hati (batin) maupun rasio (akal budi) kita sebagai makhluk sosial yang bermartabat.
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa sosok orang yang mempunyai keyakinan atau berkeyakinan haruslah memperlihatkan kualitas (moralnya dan sekaligus kualitas karya praksisnya). Dan semuanya ini testisnya adalah akan terlihat dari sikapnya terhadap sesamanya. Dalam artian, berkeyakinan dengan akal sehat dan tidak membabibuta.
Kebenaran yang sejati sudah pasti akan bersikap terbuka, berani untuk dikritisi dan tidak akan pernah goyah dan berubah oleh situasi. Dan buahnya pasti memajukan peradaban kebebasan, persaudaraan, kesetaraan yang intinya semakin menjunjung tinggi martabat manusia.
Hakikat kebenaran pasti bersifat terbuka, terbuka untuk dikritisi, dan dalam arti yang positif ia tidak akan pernah bertentangan dengan nilai-nilai keagungan moralitas, kebebasan dan nalar. Karena itu ia pasti akan sanggup membela dirinya tanpa harus diproteksi oleh kekuatan dari luar. Pada titik inilah rasio dan kejujuran kita akan diuji kekuatan dan konsistensinya. Sebab hanya dengan kejujuran, kebenaran akan menyingkapkan dirinya dengan terang benderang.
Sebab tidak sedikit orang yang beragama hanya akan mencari atau dijadikan “jalan” untuk mendapatkan rezeki, jabatan atau keuntungan-keuntungan lainnya yang secara esensial tidak ada hubungannya dengan watak kebenaran itu sendiri.
Pada titik inilah bila kita hendak menemukan kebenaran sejati, kita bisa berangkat dari titik (spirit) Descartes, atau spirit para filsuf besar lainnya yang bergairah (mencari) jawaban tentang misteri besar dunia ini. Pertama, kita harus memulai dengan kesadaran diri bahwa eksistensi kita di bumi ini adalah bagian dari misteri besar yang dalam batas-batas tertentu siapapun kita pasti menginginkan kepastian. Kedua, bahwa kesadaran saja belum cukup, ia perlu juga disertai atau disemangati oleh kejujuran dan ketulusan. Ketiga, seseorang dengan sendirinya dan dengan pasti aktif berpikir alias mem-fungsikan rasionya. Kesadaran dan kejujuran akan menjadi frame atau bingkai yang bisa menjaga sejauhmana rasio berfungsi. Kebenaran dan moralitas tidak akan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan siapapun.
Jadi hidup dan nilai sebenarnya berbicara tentang keutuhan nilai sebagai manusia, yaitu hakikat hidup yang sebenarnya. Boleh dikatakan bahwa sesungguhnya tidak ada sesuatu yang bernilai kalau hidup itu sendiri tidak ada. Karena itu hidup akan bermakna atau semakin bernilai bilamana ia berjalan seturut dengan hakikat (kebutuhan) kemanusiaannya dengan cara-cara yang luhur.
B. EXCURSUS TUHAN DAN SEBUAH PERSPEKTIF
Sebenarnya kalau kita kritis dan jujur menilai dan merangkum inti sari hukum Taurat, ia merupakan bentuk eksplisit yang diungkapkan (Allah secara tertulis) yang, sebenarnya secara implisit sudah tertanam di dalam benak manusia. Atau dengan kata lain sebenarnya justru kemuliaan manusia sebagai makhluk mulia itu karena dilekati oleh hukum ilahi di benaknya. Itu sebabnya manusia dalam tingkat kesadarannya yang tinggi ia pasti mencari realitas yang dianggap kebenaran tertinggi, ujung-ujungnya ialah kepada Tuhan.
C. PERSOALAN KEDUA PENGUJIAN KEAUTENTISITASAN
Siapapun kita perlu berpikir bijak sebab kita semua bisa berbuat kesalahan. Kebenaran ilahi yang sejati itu akan dengan pasti membuat watak manusia menjadi lebih “indah” dan semakin rendah hati dan bijak. Dan karena itu kebenaran ilahi yang sejati pasti akan semakin men-support nilai-nilai kebebasan yang menjunjung tinggi nilai-nilai martabat kemanusiaan. Tanpa ini semua, klaim-klaim kebenaran ilahi hanya “tong kosong berbunyi nyaring, alias suara kebohongan dan atau kesia-siaan belaka yang justru akan menghancurkan sendi-sendi peradaban.
Hal yang paling bernilai dalam hidup di dunia ini sebenarnya adalah kebebasan hak individu itu sendiri sebagai manusia yang bernilai. Jadi jawabannya sebenarnya sangat sederhana, yaitu mengedepankan relativitas. Dalam artian bukan untuk menolak adanya kemutlakan kebenaran. Tetapi maksud dari pengertian relativitas di sini lebih berbicara tentang persepsi diri (personal perspective) yang disemangati roh kebebasan. Lebih jelasnya persepsi yang benar dalam konteks kita sebagai manusia, harus bernilai ganda, yaitu persepsi ilahi dan persepsi insani. Karena pada hakikatnya, kebenaran atau nilai-nilai yang insani tidak akan pernah bertabrakan dengan nilai-nilai yang bersifat ilahi.
Kalau orang yang kita stigma sebagai kafir (orang yang tidak beriman), ternyata mereka mampu hidup bijak, berpengetahuan luas, giat (cinta) dalam kebajikan dan bahkan, pengetahuan mereka tentang nilai-nilai kemanusiaan malah menjadi pegangan atau fondasi hidup kemasyarakatan dan kebangsaan. Lalu pertanyaan krusialnya sekarang ialah, pertama dimana letak kebenaran wahyu yang dianggap mutlak, dalam posisi masyarakat (kafir) yang beradab dan demokratis ini? Kedua, kira-kira apa yang saya harus lakukan sebagai seorang agamais di tengah-tengah kaum kafir yang ternyata lebih maju dan beradab ini? Ketiga, adakah perasaan malu terhadap diri sendiri yang satu sisi mengaku diri mengenal Allah, Tuhan sumber dari segala nilai dan keagungan, tetapi pada sisi lain “kalah” segala-galaya dengan mereka yang kita stigma sebagai kafir.
D. EXCURSUS AGAMAIS-AGAMAIS SEJATI
Yang bermutu atau yang berkelas itu pasti mengendepankan akal sehat dan nurani yang peka terhadap kejujuran dan hal-hal yang bernilai lainnya. Bahwa Kebenaran yang Ilahi, kalau benar Ia ada dan sampai ke dunia ini lewat mereka-mereka yang mengaku sebagai utusannya. Pasti, pertama hidup mereka atau watak mereka yang telah dipilih menjadi utusanNya itu sudah dapat dipastikan sebagai sisik yang berintegritas. Dan ketika kebenaran Ilahi datang padanya akan semakin berintegritas. Karena itu kata “integritas” dalam konteks ini, akan mengandung tiga aspek kebenaran: (1) kebenaran yang bersifat insani, yaitu kebenaran yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, dan yang ke (2) sosok orang yang mengaku menerima wahyu itu sendiri, apakah secara moral ia berintegritas dengan nilai-nilai kebenaran (norma-norma universal) insani yang menjunjung nilai martabat kemanusiaan (HAM) dan (3) yang mana antara spirit kebenaran yang insani ini, dengan spirit kebenaran ilahi (wahyu) sudah pasti sinkron.
Dan yang kedua, bahwa kebenaran yang ilahi itu bila dipraktikkan secara konsisten, di keseluruhan wilayah kehidupan praksial manusia, akan dengan pasti mendatangkan keharmonian, rahmat dan kebaikan! Singkatnya, tidak akan ada keganjilan dan darah tertumpah secara sia-sia dengan atau atas nama kebenaran dan agama!
Dengan kata lain, yaitu kekudusan dan kemuliaan Allah dalam arti, hal itu berbicara mengenai segala perbuatan kita sebagai kaum agamais, yaitu mencerminkan nilai kekudusan dan kemuliaan sosok (oknum) yang kita imani kebenaran firman-Nya. Kalau spirit yang demikian ini tidak ada dalam benak kita yang terdalam, boleh saja kita berjubahkan jubah-jubah agama dengan segala atribut kemegahannya, anda tetap saja sampah di mata Tuhan.
E. PERSOALAN KETIGA REALITAS DAN PERLUNYA KEPASTIAN
Eksistensi dan makna itu sesungguhnya bagai satu keeping mata uang yang mempunyai dua sisi gambar yang berbeda, tetapi merupakan kesatuan yang saling melengkapi. Keberadaan eksistensi menuntut makna, sebaliknya makna itu sendiri tidak akan ada tanpa adanya eksistensi. Dan keduanya berada (terhisap) ke dalam realitas yang namanya ada-hidup. Esensi ada ialah hidup, dan esensi hidup ialah ada! Inilah konsepsi ideal yang harus melekat atau mendasari nilai diri pada ego kita sebagai manusia.
Kenapa kita harus bijak, karena di tengah realitas semesta, ada sebuah kepalsuan yang menipu dan memperdaya. Dan implikasi sebuah kepalsuan adalah fatal! Sebab upahnya bukan saja ketidakberadaban, tetapi juga kepastian maut atau kematian kekal sebagai upahnya. Itu sebabnya kenapa kita harus sebijak mungkin di dalam menentukan pilihan-pilihan nilai dan menyadari betapa pentingnya pilihan itu.
Hidup adalah anugerah. Sebab kita sebagai makhluk manusia tidak (menjadi) ada dengan sendirinya seperti ajaran evolusi. Tetapi (menjadi) ada oleh karena ada pemrakarsanya, yaitu Dia sang Ada Pemberi hidup. Oleh sebab itu, hidup yang kita hidupi, mempunyai tanggungjawab nilai, yaitu nilai keagungannya dan sekaligus mandat hidupnya sebagai manusia. Dalam konteks inilah, banyak orang tidak menyadari dan atau malah tidak mengerti sama sekali, bahwa hidup ini seharusnya dimulai dengan titik kesadaran: darimana hidup dimulai, bagaimana melakukan, apa dan menuju kemana hidup ini diarahkan. Tidak heran bila banyak orang hidupnya terhanyut sedemikian rupa ke dalam arus yang dangkal, karena mengejar kecedasan dan kenikmatan tetapi mengabaikan kesadaran akan nilai spiritualitasnya.
Bagaimana kita memberi jawab atas pertanyaan serius Hume ini? “Adakah Allah mau mencegah kejahatan, tetapi tidak mampu? Kalau begitu Dia tidak berdaya. Adakah Allah mampu tetapi tidak mau? Kalau begitu Ia berhati kejam. Adakah Ia mampu dan mau: kalau begitu darimana kejahatan itu? Kegagalan kita menjawab pertanyaan ini, akan menunjukkan kedangkalan kita dalam memahami realitas.
Singkatnya, pribadi Allah Pencipta yang melampaui ruang dan waktu, yang transenden, tidak terjangkau oleh ciptaan, menjadi tampak dalam rupa kemanusiaan manusia. Karena itu ketika manusia “kehilangan” watak welas asihnya terhadap sesama, ia akan tampak seperti monster yang siap melahap mangsanya.
Berbicara persoalan moralitas yang melekat dalam diri manusia. Lebih dalam daripada sekedar berbicara persoalan baik dan buruk. Dengan kata lain, hakikat moral itu sesungguhnya adalah gambar kesempurnaan Ilahi yang ditanamkan (dipercikkan) dan melekat dan sekaligus terpancar dalam diri kemanusiaan manusia. Tanpa nilai moral yang melekat, yang mendasari nilai kemanusiaannya, manusia tidak lebih dari seekor binatang yang berjalan tegak. Layaknya hewan (seekor binatang) pada umunya yang tidak mengenal budaya dan keindahan.
Hati yang bijak akan pasti selaras dengan kebenaran (hikmat Allah). Dan Roh Kebenaran akan semakin mendalamkannya. Singkatnya, dalam tradisi iman Kristen yang alkitabiah, adanya keyakinan akan kelahiran baru akan dipengaruhi akan budi kita oleh Roh.
Roh yang termeterai dalam hati itu menjadi jaminan (kepastian) yang menyangkut hidupnya masa kini, dan masa yang akan datang.
Siapapun anda, kalau dalam hidupnya yang diliputi serba misteri ini tidak secara serius memberikan waktu untuk mencari dan mempelajari nilai apakah yang paling bernilai yang memberi jaminan pasti, sungguh bodohlah dia!
F. EXCURSUS YESUS TITIK KEMUNGKINAN KEPASTIAN YANG MUNGKIN
Mengapa Yesus menjadi pusat atau titik kepastian, perkataan-perkataan di atas hanya mungkin keluar dari mulut sosok orang yang benar-benar Manusia Ilahi. Di dalam dan melalui Yesuslah manusia menemukan solusi dan patron dignity yang telah kehilangan daya hidup yang ilahiah. Pertama, kalau kita jujur, kita pasti mengaku betapa letih lesu kita sebagai manusia mencari jawaban pasti terhadap misteri hidup di dunia ini.
Dan alasan yang kedua, ketika kita mempertaruhkan (takdir) hidup kita kepada-Nya, dalam artian ketika kita masuk dan hidup seturut kuk (kebenaran ilahiah) yang diajarkan Yesus yang harus kita jalani, bersamaan dengan itu kita mengalami kelahiran baru. Artinya inilah alasan yang ketiga, kuk Yesus yang kita pakai sebagai jalan hidup tadi, yaitu kebenaran firman-Nya telah benar-benar memerdekakan kita dari jalan kegelapan.
G. PERSOALAN KEEMPAT “MANUSIA BIJAK”
Seperti yang telah disinggung terdahulu perihal manusia bijak atau orang bijak, yang mana watak itu tidak bisa dipisahkan dari tingkat kesalehan atau keimanan seseorang. Dimana kebenaran nilai yang dipegangnya telah mengubah kedalaman sikap mentalnya oleh karena pembaruan-pembaruan (budi) yang dialaminya.
Manusia bijak artinya dalam hidup ini, dimana tingkat misterinya begitu dalam dan banyak hal yang tidak diketahui manusia dengan pasti, maka kita harus sadar bahwa hidup ini wataknya tidak bisa ditawar-tawar. Salah dalam arti mengeraskan hati atau mengabaikan terhadap kejujuran dan kebenaran, resikonya adalah sesat, fatal dan kehancuran.
Tetapi ingat, tidak berarti kalau anda tidak religius, dan atau ateis lalu lantas pasti tidak bermoral! Namun nilai moralitas di sini hanya sebatas penilaian baik dan buruk menurut ukuran atau persepsi manusia yang seringkali hanya dilihat dari untung dan rugi.
Sebab jika benar passion anda tertuju kepada kebenaran dan ketidakbinasaan, anda tidak akan sanggup melawan kejujuran dan ketulusan spirit (passion) yang membara dalam hati anda.
H. EXCURSUS PERADABAN MAJU, BUKAN SOAL AGAMA, MELAINKAN KEMANUSIAAN DAN KECERDASAN
Peradaban maju esensinya adalah soal kemanusiaan, kecerdasan dan keadilan yang beradab. Apa artinya kecerdasan bila tidak dimotivasi dan atau tidak disemangati oleh nilai-nilai kemanusiaan, pasti terjadi keserakahan di sana, di mana keadilan diinjak-injak. Tetapi menegakkan keadilan pun bila tidak disemangati dan atau tidak dilandasi nilai-nilai kemanusiaan, bukan peradaban yang terjadi, tetapi kebiadaban atau kebengisan yang terjadi.
Jadi bicara tentang (nilai-nilai) kemanusiaan berarti berbicara manusia seutuhnya yang menyangkut rasa keadilannya dan hakikat potensialnya yang berguna bagi dan untuk memajukan dan mensejahterakan kehidupan (manusia) itu sendiri. Inilah esensi (ruh) peradaban yang sejati. Dan kasih adalah kebutuhan yang paling asasi dari hakikat kemanusiaan itu sendiri. Sebaliknya bicara peradaban (maju) esensinya berbicara kesejahteraan manusia yang semakin mengangkat derajat martabat manusia dengan memancarkan nilai-nilai keagungan kemanusiaannya.
I. PENDAPAT
Buku ini banyak memberikan sumbangsih dalam kajian filsafat humaniora, terutama dalam pemaparan apa dan bagaimana pemahaman yang dimiliki seseorang tentang kehidupan dirinya sendiri, karena penulisnya berusaha memaparkan perkembangan pemikiran manusia melalui dialektika dari masa ke masa, yaitu yang menyangkut sifat pengetahuan ilmiah, keselamatan, kebahagiaan serta cara-cara bagaimana mencapai kesempurnaan berpikir melalui dialektika kritis. Buku ini hanya disarankan sebagai pengantar saja.
J. PENUTUP
Pada masa yang akan datang dapat disempurnakan lebih baik lagi dalam hal tata bahasa dan penyajian informasi agar dapat memberikan informasi yang lebih lugas lagi dalam upaya memberikan pengetahuan dan membuka wawasan pembaca.